[REVIEW] Puya ke Puya: Cari Tahu Alasan Surga Diciptakan Bersama Faisal Oddang

 

 "Kau hidup hanya untuk mati? Jika seperti itu, betapa kasihan kau, saya dan leluhur kau yang lain, tentu sangat kecewa. Tak pantas kau berjalan ke tempat suci ini tak pantas kau menjadi orang Toraja yang kami banggakan. Pulanglah, pulanglah dulu, tanyakan kepada kawan kau yang lain. Kenapa surga diciptakan?"

Lantas, apa jawabanmu? kalau jawabanmu surga diciptakan supaya orang-orang mau beragama dan punya Tuhan, maka begini kata Faisal Oddang – “Oh, betapa malas berpikir kau itu.

Tak perlu memaksa dijawab saat ini juga, sekarang coba simak dulu sedikit kisahnya melalui review salah satu buku Faisal Oddang yang sukses menjadi pemenang ke-4 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta dan novel terbaik tahun 2015 oleh majalah Tempo ini.

Sumber gambar: id.carousell.com

Puya ke Puya, sebuah buku dari Faisal Oddang dimana ia menujukkan kemampuannya dalam menceritakan lika-liku kehidupan di Tana Toraja dari sudut pandang yang berbeda-beda. Bukan sudut pandang si kaya dan si miskin, melainkan dari sisi yang masih hidup dan yang sudah mati.

Orang mati pun memiliki kesempatan untuk menceritakan kisah tersendiri dalam buku dengan balutan budaya Toraja yang kental ini. Cara pergantian sudut pandang dalam buku ini, pencerita menggunakan simbol asterisk (*) dengan jumlah yang berbeda untuk masing-masing tokoh sebelum cerita berakhir dalam satu paragraf. Jadi, bersiap saja untuk mendengarkan curhatan arwah di dalam buku ini.

Cerita kematian tentu menjadi sebuah kisah tersendiri apabila menyangkut tradisi Toraja, apalagi jika berasal dari keluarga terkemuka. Jadi, ketika Rante Ralla, seorang pimpinan adat di Kampung Kete’, meninggal dunia hal inilah yang bisa disebut membawa persoalan bagi keluarganya; terutama Allu Ralla, anak lelaki sulungnya yang padahal masih disibukkan dengan urusan skripsi yang tak kunjung usai.

Sumber gambar: dokumentasi pribadi

"Kematianku begitu mendadak, aku tidak pernah menduga hal ini akan terjadi.” – begitu ujar Rante Ralla. Tapi, malang tidak bisa dihindari, lahir sebagai keturunan bangsawan, maka saat mati pun harus memiliki tempat tertinggi. Rambu solo, begitu orang Toraja menyebutnya. Tradisi upacara kematian yang mengorbankan puluhan kerbau dan ratusan babi, yang diharapkan bisa menjadi tunggangan dan pengiring saat berjalan ke puya; ke surga, kalau kau bertanya-tanya apa arti puya sebenarnya. 

Dari situlah cerita dalam buku ini mengalir mulai dari masalah tradisi pelaksanaan rambu solo, polemik rumah tongkonannya yang menjadi incaran perusahaan tambang, sampai pada kisah percintaan Allu yang termakan oleh ucapan manis gadis pujaannya. Menghadapi beragam permasalahan membuat Allu harus memutar otak untuk mempertahankan idealismenya sekaligus mencari uang untuk mengupacarakan ayahnya.

Serangkaian kisah rumit inilah yang memicu amarah para leluhur di puya dan mengantarkan adzab bagi Kampung Kete’. Iya, seperti azab yang mungkin kau bayangkan sekarang bahwa digambarkan ada hujan gemuruh dan angin kencang yang terjadi selama rangkaian rambu solo.

Secara keseluruhan, ide cerita yang diangkat dalam buku ini unik dan menarik. Faisal Oddang seperti seorang jenius lokal yang mampu memetakan budaya Tana Toraja kedalam bentuk fiksi dengan warna cerita yang pas dan diminati oleh kaum muda. Berikut beberapa poin plus dan minus menurut pendapatku tentang novel Puya ke Puya ini. 

Baca juga: 6 Rekomendasi Novel Metropop Romance yang Bikin Geregetan

 

Kelebihan

(+) Kelihaian penulis dalam membawakan cerita

Poin ini menjadi alasan utama untuk merekomendasikan buku Puya ke Puya di laman blog ini. Pembawaan konflik yang cukup kuat diiringi dengan siasat bercerita yang unik akan membantu pembaca untuk memahami perkembangan alur didalamnya. Meskipun sudut pandang cerita berganti dari satu tokoh ke tokoh lain, penulis mampu menyampaikan ledakan emosi yang menyentak pembaca dari setiap tokohnya. 

(+) Memperoleh lebih dari satu perspektif dalam memahami suatu kejadian

Faisal Oddang kerap kali memberikan kesempatan bagi pembaca untuk memahami karakter tokoh melalui sudut pandang yang berbeda. Melalui buku ini, pembaca disuguhkan bagaimana orang hidup memaknai kematian dan bagaimana orang mati menilai arti kehidupan. Satu hal yang menarik adalah kamu akan diceritakan bagaimana homoseksual di mata arwah.

(+) Pemilihan kata yang cukup berani

Seperti sebagaimana baiknya karya sastra, Faisal Oddang berusaha mendeskripsikan suatu kejadian dengan jelas menggunakan diksi yang memang seharusnya. Tak ada batasan, karena dengan ini pembaca akan mendapatkan gambaran imaji yang dimaksudkan penulis.

(+) Pas untuk kamu yang ingin mengenal budaya Toraja

Lahir di Wajo, Sulawesi Selatan membuat Faisal Oddang menjadi lebih dekat dengan budaya dan adat istiadat di Sulawesi yang kental. Tidak hanya sekedar bercerita, melalui buku ini, kamu juga akan memperoleh informasi terkait pelaksanaan rambu solo, pemakaman passiliran untuk mayat bayi, dan bagaimana orang Toraja memaknai puya.

 

Kekurangan

(-) Terlalu banyak unsur yang disajikan

Beragam permasalahan yang muncul di buku ini juga menghadirkan beragam unsur kehidupan di dalamnya. Mulai dari masalah budaya, konflik sosial, asmara, seks, dan drama keluarga bertemu dan bergejolak hampir dalam waktu bersamaan. Semua terasa menjadi dipapatkan dalam satu cerita novel. Terburu-buru ada dan terburu-buru selesai.   

(-) Cukup banyak ditemukan kesalahan penulisan

Selain kesalahan dalam pengetikan yang bersifat minor, kesalahan dalam penulisan nama yang sesuai juga muncul disini. Misalnya saja, tertulis “Aku berjalan, aku segera menemui Ambe dan memulai penantian kedatangan Allu.” (hal. 204). Padahal seharusnya bukan Allu yang tertulis disitu, melainkan nama Bumi.

(-) Penyajian contoh padanan peristiwa yang kurang sesuai  

Penulisan juga menggunakan perumpamaan yang terkesan dipaksa untuk serupa. Misalnya saat Allu tengah memimpin rapat keluarga tentang pelaksanaan rambu solo untuk ayahnya, penulis terkesan memaksa untuk menyisipkan info tentang Operasi Overlord tahun 1944 (hal. 120). Meskipun sebenarnya kedua peristiwa ini kurang memiliki korelasi yang berkaitan.

Jadi, bagaimana? Apa sekarang kamu sudah menemukan alasan kenapa surga diciptakan? Kalau Faisal Oddang berkata, “Pulanglah dulu!” maka aku sarankan “Bacalah dulu!” Silahkan kamu baca dulu buku Puya ke Puya karya Faisal Oddang ini karena hanya membaca review singkat ini tentu tidak banyak membantumu untuk menjawab, “Kenapa surga diciptakan?” 

Selamat membaca, Sobat Milenial!

 

 

Artikel oleh: Andita Eka W.

Editor: Nur Annisa H.

Jumlah kata: 894       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

6 Rekomendasi Novel Metropop Romance yang Bikin Geregetan

6 Rekomendasi Café dan Resto Outdoor Bernuansa Alam di Jawa Timur

Free Fire Battlegrounds, Mobile Game yang Jadi Primadona di Kalangan Pemuda