Buku Bekas Bisa Jadi Opsi yang Lebih Terhormat Daripada Beli Buku Bajakan #StopBukuBajakan
“Ah beli buku yang ori mahal mending cari versi copy yang harganya bisa ¼ harga asli. Baca buku kan yang penting isinya bukan soal asli atau engganya,”
Pernyataan semacam ini
sepertinya sudah tidak asing lagi terutama bagi kita para kaum Milenial.
Membeli buku memang menjadi sebuah pengorbanan tersendiri apalagi jika itu buku
materi kuliah dengan harga yang membuat kantong mahasiswa jebol. Supaya aman maka buku bajakan seolah menjadi solusi ‘instan’.
Tentu lapak buku
semacam Wilis di Kota Malang, kios Terban di Yogya, Kwitang di Jakarta, dan
Sriwedari di Solo menjadi jalan pintas. Berbekal kelihaian dalam tawar menawar
maka buku incaran pun diperoleh dengan seperempat harga aslinya. Berhasil
memenangkan transaksi tawar-menawar seperti mendatangkan kepuasan tersendiri.
Urusan kualitas dan keaslian masih bisa dipikir nanti.
Fenomena buku bajakan di Indonesia
Harga mahal memang
kerap kali menjadi alasan utama maraknya penjualan buku bajakan di Indonesia.
Umumnya buku-buku yang berlabel best
seller dan buku pembelajaran menjadi sasaran empuk pelaku pembajakan buku.
Perkembangan teknologi
pun juga dianggap berpengaruh pada maraknya pembajakan buku di Indonesia. Dalih
konsep paperless untuk mengurangi
penggunaan kertas di Bumi seolah menjadi pembenaran untuk mengunduh versi ebook dari buku aslinya. Memang tidak
ada yang salah dengan sikap mengurangi penggunaan kertas, namun yang perlu
dipertanyakan adalah kesalahan untuk menikmati karya orang lain secara gratis.
Bukankah ini termasuk dalam mencuri?
Sebut saja mulai dari buku karya para pujangga seperti Pramoedya Ananta Toer, Eka Kurniawan hingga novel-novel laris seperti karya Dewi Lestari, Andrea Hirata, Tere Liye, Fiersa Besari; dari Joko Pinurbo hingga Kedung Romansa adalah sejumlah deretan penulis yang karyanya menjadi langganan setia para pelaku pembajakan.
Buku bajakan sudah seperti industri baru di Indonesia
![]() |
| Sumber gambar: mojok.co |
Pembajakan buku juga
tidak berhenti di lapak buku yang dipajang di toko semacam Wilis. Kini para
pelaku pembajakan pun merambah ke pasar online
untuk menjual buku-buku bajakannya. Dilansir dari Republika, ada banyak penjual yang secara terbuka menjual buku bajakan dalam jumlah hingga
ribuan.
Bahkan dengan bangga mereka mendeskripsikan buku yang dijualnya sebagai barang ‘KW’. Menurut Arys Hilman selaku Humas Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), hal ini sangat merugikan pihak-pihak terkait yang menghasilkan buku tersebut. Padahal sejumlah platform belanja online yang bersangkutan mengklaim telah memiliki syarat dan ketentuan larangan penjualan buku bajakan karena melanggar hak kekayaan intelektual dan UU Hak Cipta. Sanksi bagi pelapak, sesuai syarat itu, diblokir sampai dihapus. Namun nyatanya penjualan buku bajakan di belanja online masih bisa lolos.
Longgarnya regulasi tentang pembajakan buku
Pada hakikatnya,
Indonesia sebagai negara hukum telah memiliki peraturan yang menegaskan terkait
pembajakan terhadap karya seseorang. Hal ini termuat dalam UU Nomor 28 Tahun 2014
tentang Hak Kekayaan Intelektual yang bisa dicek melalui laman Direktorat
Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum & HAM RI.
Dalam UU ini sudah
jelas tertulis bahwa pelaku pembajakan akan mendapatkan hukuman pidana penjara
maksimal 10 tahun atau denda Rp. 4 miliar. Namun fakta di
lapangan masih menunjukkan pembajakan buku yang semakin menjamur. Sikap para
penegak hukum pun cenderung tertutup terkait kasus pembajakan buku.
Padahal apabila pembajakan buku semakin marak terjadi maka bukan tidak mungkin jika industri kreatif Indonesia terutama dalam hal kepenulisan buku juga akan semakin melemah. Dalam prosesnya sendiri, hasil penjualan buku yang relatif mahal memang digunakan untuk membayar setiap tahapan yang terjadi sejak dari penulis sampai ke tangan pembaca, seperti biaya operasional penerbit, biaya sewa toko, PPN untuk negara, distribusi buku ke berbagai kota, juga royalti untuk penulisnya.
Solusi sederhana yang bisa menjadi ‘titik terang’
Buku asli yang
terkesan mahal bukan menjadi alasan pembenaran untuk membeli buku bajakan.
Sebaliknya sebagai Milenial harusnya mencari alternatif lainnya. Salah satu
solusi yang paling berpotensial adalah dengan membeli buku bekas. Ada banyak
buku bekas untuk judul-judul populer yang dijual dengan harga miring dan dengan
kualitas masih baik. Buku-buku bekas memiliki potensi baik untuk menghentikan
laju pembajakan buku yang semakin marak di tengah masyarakat.
Daripada mengoleksi buku bajakan, mengoleksi buku bekas akan terasa lebih terhormat dan aman karena disini kamu tetap menghargai usaha penulis dan penerbit buku itu. Walaupun dengan kondisi buku yang tidak semulus buku asli, yang terpenting buku tersebut bukan buku bajakan. Buku-buku bekas tidak selalu buruk untuk dimiliki.
Dukung penulis dan kembangkan usaha buku
Sejumlah usaha-usaha
kecil untuk menjual buku bekas juga mulai bersaing melawan bentuk pembajakan
buku. Di sejumlah media sosial seperti Instagram juga sudah banyak toko online yang menjual ataupun menjadi
perantara dalam jual beli buku bekas. Salah satunya adalah Shintiya Yulia
Frantika yang sudah memulai usahanya sejak tahun 2019 lalu.
![]() |
| Akun Instagram @dodolan_bukubekas |
Di akun Instagram
@dodolan_bukubekas, perempuan kelahiran Kediri ini mengungkapkan bahwa tujuan
utama ia memulai usahanya adalah untuk menyediakan akses buku asli kepada semua
orang.
“Pengalaman pribadi
dulu suka nggak punya uang untuk beli buku baru. Maka dari itu, semoga dengan
adanya usaha di @dodolan_bukubekas bisa membantu supaya semua orang juga bisa
menikmati baca buku,” terang penggemar karya Dee Lestari ini.
Shintiya juga menambahkan harapannya untuk menghindari pembelian buku bajakan dengan adanya usaha jualan buku bekas seperti miliknya. “Daripada beli buku bajakan yang kualitasnya nggak awet lebih baik beli buku bekas dengan harga miring dan tentu lebih awet,” imbuhnya.
Jadi, buat kamu yang
ingin berburu buku bekas dengan kualitas baik dan harga miring bisa langsung
mengunjungi akun Instagram @dodolan_bukubekas.
Buku bekas memang
tidak seistimewa buku baru namun ia tetap menjaga rasa autentik sebagai buku
asli. Bukan versi tiruan seperti buku bajakan, kehadiran buku bekas akan lebih
bermanfaat untuk peradaban buku, penulis, penerbit, dan kamu para pembaca.
Artikel oleh: Andita Eka W.
Editor: Ayu T.
Jumlah kata: 866


Komentar
Posting Komentar