Ngobrol Persoalan Literasi Milenial Indonesia Bersama Najwa Shihab

Malang. Dewasa ini, persoalan literasi hampir selalu menjadi topik bahasan umum di beragam diskusi baik di kalangan akademisi, praktisi dan masyarakat umum. Salah satunya adalah talk show yang diadakan oleh Perpustakaan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara pada Kamis (12/11) secara daring. Acara yang mengangkat tema “Milenial Cerdas, Bicara tentang Literasi” ini menghadirkan salah satu jurnalis ternama sekaligus Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab.
Terlepas dari bahasan kondisi literasi dan minat baca generasi muda Indonesia, Najwa memulai pembicaraan dengan menyinggung bahwa masyarakat cenderung mempersempit definisi sebenarnya dari literasi. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) literasi memiliki 3 definisi (1) n. kemampuan menulis dan membaca (2) n. pengetahuan atau keterampilan dalam bidang atau aktivitas tertentu: -- computer (3) n. kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dalam hal ini Najwa mengungkapkan bahwa perlu ada penegasan antara melek literasi dan melek aksara.
“Memang bisa dipahami bahwa sudah banyak masyarakat Indonesia yang melek aksara tapi bagaimana dengan jumlah yang gemar membaca? Seringkali kita temui sudah baca tapi belum paham isinya. Kita itu baru jago ngeja bukan jago baca,” tuturnya disertai gelak tawa.
![]() |
Talkshow Milenial Cerdas, Bicara Tentang Literasi. Sumber gambar: dokumentasi pribadi |
Kondisi literasi Indonesia salah satunya dapat dilihat melalui publikasi data "The World’s Most Literate Nations", sebuah penelitian yang dilakukan oleh organisasi UNESCO pada 2016, yang menunjukkan urutan Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara, tepat hanya satu tingkat diatas Botswana.
Di tengah pembicaraan, Najwa juga menyebutkan salah satu penyebab krusial dari rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Sulitnya akses terhadap bahan bacaan dipercaya menjadi penyebab utama rangking literasi Indonesia yang jatuh bak ke jurang ini. Keberadaan anak-anak yang tinggal jauh di pelosok menjadi korban utama dari sulitnya akses buku disana.
“Masalah utamanya bukan hanya di minat bacanya yang rendah tapi memang bukunya yang nggak ada. Inilah yang sering dikatakan oleh para pegiat literasi saat melakukan kegiatan-kegiatan seperti Pojok Baca. Jadi hal pertama yang penting untuk dilakukan adalah memastikan bahwa seluruh anak Indonesia memiliki akses terhadap bahan bacaan,” tegas perempuan pendiri program Narasi TV ini.
Kondisi ini dapat dikonfirmasi dengan merujuk pada data yang dikumpulkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia pada tahun 2019 melalui program Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca). Kegiatan literasi dipengaruhi beberapa faktor yaitu kecakapan, akses, alternatif, dan budaya. Kategori Indeks Alibaca terbagi atas lima kategori, yakni sangat rendah (0-20,00), rendah (20,01-40,00), sedang (40,01-60,00), tinggi (60,01-80,00), dan sangat tinggi (80,01-100).
Baca juga: Sebelum Tahun Berganti, Yuk Baca 8 Buku Menarik yang Baru Terbit 2020 ini!
![]() |
Sumber gambar: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019 yang termuat di databoks.katadata.co.id |
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa hanya 9 provinsi yang masuk dalam kategori sedang, 24 provinsi berkategori rendah, dan 1 provinsi termasuk sangat rendah. Rata-rata indeks Alibaca nasional pun diperoleh berada di titik 37,32% yang tergolong rendah.
Dilansir dari kompas.com, Aminuddin Ramdan selaku Chief
Field Office Unicef wilayah Papua juga memberikan gambaran langsung melalui kondisi
literasi di Kabupaten Supiori sebuah pulau yang jauh dari daratan utama. Faktor
geografis serta kurangnya sarana dan prasarana menjadi salah satu penyebab
kemampuan literasi para pelajar di Supiori yang tergolong rendah.
“Apalagi lebih dari 50 persen murid kelas awal di Papua masuk ke dalam kategori tidak bisa membaca karena tidak bisa mengenali huruf. Kompetensi membaca murid kelas empat sekolah dasar (SD) yang masih berada dalam level kurang literasi terdata sebanyak 60 persen. Dengan fakta-fakta tersebut, tak heran rata-rata indeks aktivitas literasi membaca (Alibaca) di Indonesia masih berada di level rendah, yakni 37,32 persen,” jelasnya.
![]() |
Sumber gambar: shuttlestock.com |
Menanggapi kondisi
demikian, Najwa mengaku bahwa ia dan sejumlah rekannya di perpustakaan nasional
tengah menggalakkan program Pojok Baca untuk seluruh masyarakat Indonesia
khususnya generasi muda.
“Kita memang berusaha
membuka Pojok Baca dimana-mana dengan tujuan untuk memudahkan orang mendapat
akses terhadap bahan bacaan. Akses baca dan akses terhadap buku harus dibuat
seluas mungkin. Inilah inisiatif yang memang harus terus didorong,” jelasnya
dengan tegas.
Lebih lanjut, Najwa
menuturkan bahwa bukan hanya sulitnya akses yang membuat peringkat literasi
Indonesia rendah. Kehadiran gawai yang hampir menjadi bagian kehidupan dari
banyak generasi milenial juga menghadirkan tantangan tersendiri.
“Permasalahan kedua
yang sedang kita hadapi adalah bagaimana kita bisa tetap meningkatkan minat
baca di tengah gairah untuk bermain gawai saja terus menerus,” ucapnya lugas.
Tidak bisa dipungkiri
bahwa gawai telah menembus hampir menjadi kebutuhan primer banyak orang
khususnya anak muda. Mengambil data dari kominfo.go.id,
60 juta penduduk Indonesia memiliki gawai dan berada di urutan kelima dunia untuk
kepemilikan gawai terbanyak. Meskipun minat baca masyarakat rendah namun fakta ini
menunjukkan bahwa per Januari 2017 orang Indonesia bisa menatap layar ponsel kurang
lebih 9 jam sehari.
Selain itu, tambah
Najwa, hal ini menjadi salah satu penyebab banyaknya netizen Indonesia yang cenderung menjadi pembaca reaktif bukan
proaktif. Masyarakat lebih memilih untuk menerima informasi yang disodorkan
tanpa melakukan verifikasi dari sumber lain.
Di penghujung
kegiatan, Najwa memberikan saran agar milenial Indonesia tetap mencintai buku
dan memahami isinya. Ibarat olahraga, membaca buku juga membutuhkan pembiasaan
dan sedikit pemaksaan dari diri sendiri.
“Masukkan jadwal
membaca di jadwal sehari-hari dan selalu sediakan waktu untuk membaca. Jika 20
menit per hari masih tidak mampu, lakukan dengan mencicil setiap 5 menit
sekali. Hal yang terpenting jangan jadikan membaca itu beban. Pilih buku apapun
yang disuka dan jangan terpaku bahwa membaca buku non-fiksi itu lebih pintar,”
timpal perempuan penggemar karya puisi dan sajak ini.
Artikel oleh: Andita Eka W.
Editor: Shinta W.
Jumlah kata: 831
Komentar
Posting Komentar